Minggu, 16 Januari 2011

First Blood

Hari ini saya pergi ke dokter untuk mencabut gigi. Dua di sebelah kanan: atas dan bawah.

Sebelum dicabut, sang dokternya sempet nyuntikin bius. Sampe dengan terasa kebas, barulah prosesi dimulai.
Korban pertama dalam prosesi ini adalah gigi bagian atas. Sang dokter terlihat seperti berusaha mencongkel-congkel gigi geraham atas ini. Satu kali congkel, dua kali congkel, tiga kali congkel, lalu dia mengambil alat pencabut. Melihat congkelan-congkelannya yang profesional itu, saya bertanya dalam hati. 'Apa dulu ni dokter pernah nyongkel kaca mobil orang ya?'

Alat pencabut telah berada di dalam genggamannya. Kini tangannya terlihat mengayun ke arah mulutku. Terasa jelas adegan slow motion ini, bak yang ada di tipi-tipi. Bisa ku dengar jelas suara sang geraham. Ia seakan mengemis untuk tidak dicabut. Namun apa daya, aku hanya bisa mengantar kepergiannya yang beberapa saat lagi dengan mengatakan, 'Ge be u.'

Tiba-tiba saja alat pencabut itu sudah mengapit sang geraham. Lalu dengan laknatnya sang dokter menggoyang-goyangkan ke kiri dan ke kanan. Kepalaku pun ikut bergoyang. Sayangnya tidak ada lantai dansa atau pun musik house ala tempat hiburan malam murahan sih. Coba saja kalau ada, pasti suasanannya jadi lebih mantap.

Tak lama kemudian, jasad sang gigi geraham tergeletak di tempat peristirahatannya. Dia, gigi bongsor yang polos dan tak berdosa, kini telah tiada.

Selanjutnya giliran gigi bawah. Kali ini tidak dengan slow motion. Sang dokter melakukan manuver yang serupa, dan kemudian dia mulau mencongkel. Mungkin karena tidak terima, sang gigi ini mengirimkan rasa sakit dan ngilu pada saraf, sehingga terpaksa aku mengeluhkannya pada sang dokter. Sang dokter kali ini mengalah. Ia mengambil suntikan bius, dan mulai menyuntikkannya. Kini gusi-gusi disekitarnya mulai pucat, lemas tak berdaya.

Setelah menunggu beberapa menit, sang dokter kembali mengambil tindakan. Kali ini aku tak mau lagi mendramatisir seperti gigi bagian atas yang tadi, Aku cuma ingin ritual ini dilakukan dengan cepat. Aku cuma ingin cepat merasa sakit, lalu merasakan rasa sakit itu hilang, dan kembali seperti normal.

Hanya saja, di bagian bawah ini, aku dapat merasakan kretek-kretek bunyi garing sang gigi ketika diretakkan. Fantastis bukan?

Setelah kedua gigi tersebut dicabut, sang dokter memintaku untuk berkumur. Disaat aku melepehkan air kumuran itu, terlihat jelas noda merah darah yang ikut termuntahkan. Wow, darah! Melihat darah aku pun langsung teringat dengan cerita Rico akan seorang temannya.

Temannya itu seorang fobia darah. Ia tidak bisa melihat darah. Pernah suatu ketika saat ia diceritakan temannya tentang suatu kejadian lucu. Lalu secara tidak sengaja temannya itu menceritakan hal yang di dalamnya mengandung kata 'darah.' Dan seketika dia muntah. Katanya sih jijik. Gilak, lebay banget tuh anak.

Dari situ juga aku menyimpulkan kalau cewe cenderung tidak punya ketakutan terhadap darah, karena mereka sudah terbiasa dengan hal itu. #YouKnowWhatIMean

Setelahnya, celah yang muncul karena dicabutnya dua gigi itu diberi tambalan kapas. Dan sejak saat itu waktu menghilangnya bius, dimulai.

Harapan saya setelah cabut gigi ini, cuma satu. Semoga (rasa sakit) ini cepat berlalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar